Apakah epilepsi bisa menular menjadi salah satu rasa kekhawatiran yang mungkin terjadi saat melihat ada orang yang mengalami kejang epilepsi. Mungkin juga akan menimbulkan kebingungan saat ingin membantunya.
Epilepsi adalah gangguan pada sistem saraf pusat, di mana aktivitas listrik di otak menjadi tidak normal dan menyebabkan kejang berulang. Kejang ini bisa berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit, tergantung pada jenisnya dan bagian otak yang terpengaruh. Meski epilepsi sudah dikenal luas di dunia medis, pemahaman masyarakat umum tentang penyakit ini masih banyak dipenuhi mitos. Salah satu yang paling sering muncul adalah anggapan bahwa epilepsi merupakan penyakit menular.
Masyarakat sering kali memiliki pemahaman yang salah tentang epilepsi, salah satunya adalah anggapan bahwa penyakit ini bisa menular. Pemikiran seperti ini menyebabkan stigma dan diskriminasi terhadap penderita epilepsi. Padahal, secara medis, epilepsi bukanlah penyakit menular.
Epilepsi adalah penyakit akibat gangguan neurologis kronis dengan kemunculan kejang berulang yang berasal dari aktivitas listrik abnormal di otak. Kejang ini bisa bersifat ringan hingga berat, tergantung bagian otak yang terlibat dan penyebab dasarnya.
Penting dicatat bahwa meski ada bentuk epilepsi yang bisa diturunkan dalam keluarga, itu bukan berarti menular. Epilepsi yang bersifat genetik dapat diwariskan melalui DNA, bukan melalui kontak langsung antar manusia.
Apakah Epilepsi Bisa Menular?
Jawabannya jelas, tidak. Epilepsi bukan penyakit menular. Tidak bisa ditularkan lewat udara, sentuhan, cairan tubuh, bersin, batuk. Bahkan melalui interaksi sehari-hari seperti makan bersama, duduk berdekatan, atau bersalaman. Epilepsi penyebabnya bukan virus, bakteri, atau kuman lainnya.
Namun, karena sebagian besar masyarakat belum mendapatkan informasi yang benar, muncul stigma yang salah kaprah. Banyak orang takut mendekat saat ada seseorang yang mengalami kejang, padahal penderita justru membutuhkan bantuan. Ketakutan ini muncul karena ketidaktahuan, bukan fakta medis.
Untuk memahami mengapa epilepsi tidak menular, penting untuk mengetahui dulu apa sebenarnya yang terjadi pada otak saat seseorang mengalami kejang epilepsi. Otak manusia bekerja dengan mengirimkan sinyal listrik antar sel saraf. Dalam kondisi normal, sinyal ini berjalan dengan ritme yang teratur. Pada penderita epilepsi, terjadi gangguan atau ‘ledakan’ aktivitas listrik yang tidak normal, sehingga menyebabkan kejang.
Kejang pada epilepsi bisa muncul dalam berbagai bentuk. Ada yang hanya berupa tatapan kosong selama beberapa detik, ada yang melibatkan gerakan otot yang tak terkendali, kehilangan kesadaran, hingga perilaku yang tidak biasa. Karena kejang terjadi secara tiba-tiba, banyak orang yang menyangka ini semacam “serangan mendadak” yang bisa menular seperti flu atau pilek. Namun, kenyataannya, kejang tidak bisa menular dari satu orang ke orang lain melalui kontak fisik, udara, atau cairan tubuh.
Kenapa Orang Bisa Terkena Epilepsi?
Penyebab epilepsi berbagai faktor. Beberapa penyebab utama antara lain adalah cedera kepala, infeksi otak seperti meningitis, stroke, kelainan genetik, tumor otak, atau komplikasi saat kelahiran. Dalam banyak kasus, penyebab pasti dari epilepsi tidak diketahui, terutama pada anak-anak. Namun, tidak satu pun dari penyebab ini yang berkaitan dengan penularan dari orang lain.
Apa Penyebab Epilepsi?
Epilepsi terjadi ketika ada gangguan sinyal listrik pada otak. Penyebab gangguan ini bermacam-macam, antara lain:
- Cedera kepala, misalnya akibat kecelakaan atau benturan keras.
- Infeksi otak, seperti meningitis, ensefalitis, atau neurocysticercosis.
- Komplikasi saat lahir, seperti kekurangan oksigen saat proses persalinan.
- Kelainan genetik, misalnya sindrom Dravet atau sindrom Lennox-Gastaut.
- Tumor otak atau stroke.
- Kondisi metabolik atau autoimun tertentu.
Namun, sekitar 50% kasus epilepsi terjadi tanpa penyebab yang jelas (disebut idiopatik atau kriptogenik).
Apakah Epilepsi Bisa Menular?
Kesalahpahaman mengenai epilepsi seringkali muncul dari kurangnya edukasi dan mitos yang berkembang dalam masyarakat. Dalam beberapa budaya, ada anggapan epilepsi sebagai kutukan, gangguan supranatural, atau penyakit menular yang harus dijauhi.
Orang banyak menghindari penderita epilepsi kadang karena ada anggapan bisa “menularkan” penyakitnya saat kejang, padahal secara ilmiah hal ini tidak benar. Tidak ada jalur biologis yang memungkinkan seseorang tertular epilepsi hanya dengan menyentuh, berdekatan, atau berinteraksi dengan penderita.
Penting juga untuk membedakan epilepsi dengan gejala kejang akibat hal lain. Tidak semua kejang berarti epilepsi. Misalnya, demam tinggi pada anak-anak bisa menyebabkan kejang demam, tapi ini bukan epilepsi dan tidak menandakan adanya gangguan otak kronis. Kejang yang muncul karena kadar gula darah yang sangat rendah, keracunan, atau putus obat juga bukan tergolong epilepsi jika hanya terjadi sekali dan penyebabnya jelas.
Ada juga bentuk epilepsi yang bersifat genetik. Dalam hal ini, riwayat epilepsi dalam keluarga bisa meningkatkan risiko seseorang mengembangkan epilepsi, tetapi ini tidak sama dengan penularan. Ini berkaitan dengan faktor keturunan, bukan infeksi atau transmisi dari satu individu ke individu lain. Bahkan jika seseorang dalam keluarga memiliki epilepsi, belum tentu anggota keluarga lain akan mengalaminya.
Apa Pengaruh Kejang Berulang terhadap Otak?
Jika tidak mendapatkan penanganan segera maka aktivitas listrik otak saat kejang berlangsung dapat memicu kerusakan otak. Semakin sering kejang maka sel-sel otak akan banyak yang rusak.
Pemeriksaan Epilepsi Apa Saja?
Kemajuan teknologi kedokteran saat ini juga telah membantu diagnosis dan penanganan epilepsi secara lebih akurat. Pemeriksaan seperti EEG (electroencephalogram), MRI (magnetic resonance imaging), dan CT scan akan dokter gunakan untuk melihat aktivitas otak dan mendeteksi kemungkinan kelainan struktural yang menyebabkan kejang.
Penanganan epilepsi umumnya dilakukan dengan obat anti-kejang (antiepileptik), yang harus minum secara rutin untuk mencegah kejang berulang. Dalam beberapa kasus yang tidak responsif terhadap obat, prosedur bedah atau terapi lain seperti stimulasi saraf juga bisa menjadi pilihan.
Dalam kehidupan sehari-hari, penderita epilepsi bisa hidup normal, bersekolah, bekerja, dan bersosialisasi seperti orang lain selama kondisinya terkontrol. Yang penting adalah dukungan dari lingkungan sekitar, baik keluarga, teman, maupun masyarakat luas. Salah satu tantangan besar yang masih dihadapi oleh banyak penderita epilepsi adalah diskriminasi di tempat kerja, sekolah, bahkan dalam hubungan sosial. Ketidaktahuan tentang sifat penyakit ini sering menyebabkan ketakutan yang tidak berdasar.
Karena itu, edukasi menjadi kunci utama. Menjelaskan bahwa epilepsi bukan penyakit menular, bahwa kejang bukan kondisi yang “menakutkan” atau berbahaya bagi orang lain, bisa membantu mengubah cara pandang masyarakat. Dalam situasi ketika seseorang mengalami kejang di depan umum, tindakan yang benar sangat penting. Jangan panik. Baringkan orang tersebut pada tempat yang aman, miringkan tubuhnya untuk mencegah aspirasi muntah, dan jangan memasukkan apa pun ke dalam mulutnya. Hubungi tenaga medis jika kejang berlangsung lebih dari lima menit atau terjadi secara berulang tanpa sadar.
Saat ini, komunitas kesehatan global seperti WHO dan berbagai organisasi neurologi dunia terus mendorong kampanye untuk menghapus stigma terhadap epilepsi. Banyak negara juga telah menerapkan kebijakan inklusif untuk mendukung penderita epilepsi dalam kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, edukasi tentang epilepsi sudah mulai diperkenalkan lebih luas, meskipun tantangan dalam penanganan dan kesadaran masyarakat masih cukup besar.
Penting untuk terus mengedukasi bahwa epilepsi adalah gangguan medis, bukan aib. Dan yang paling utama, epilepsi bukan penyakit menular. Penderita epilepsi berhak mendapatkan perlakuan setara, kesempatan kerja yang adil, dan lingkungan yang mendukung.
Jenis-Jenis Kejang pada Epilepsi
Banyak orang berpikir kejang hanya berarti tubuh kejang-kejang di lantai dan mengeluarkan busa dari mulut. Padahal, kejang pada epilepsi bisa sangat beragam bentuknya. Secara umum, kejang dalam epilepsi dibagi menjadi dua kelompok besar:
- Kejang fokal (parsial)
Jenis ini terjadi ketika aktivitas listrik abnormal terbatas pada satu area otak. Gejalanya bisa berupa gerakan tak terkendali pada satu sisi tubuh, kesemutan, perubahan penglihatan, atau bahkan sensasi emosional yang tidak biasa seperti rasa takut atau déjà vu. Kejang fokal bisa terjadi dengan atau tanpa gangguan kesadaran. - Kejang umum (generalized)
Kejang ini memengaruhi seluruh area otak dan biasanya melibatkan hilangnya kesadaran. Beberapa subjenisnya antara lain:- Tonic-clonic (grand mal): tubuh menjadi kaku (fase tonik), lalu berkedut hebat (fase klonik).
- Absence (petit mal): tatapan kosong selama beberapa detik, sering kali tidak disadari oleh penderita.
- Myoclonic: sentakan otot singkat, biasanya di lengan atau bahu.
- Atonic: hilangnya tonus otot secara mendadak, menyebabkan tubuh tiba-tiba jatuh.
- Tonic: tubuh menjadi sangat kaku tanpa kedutan.
- Clonic: gerakan berulang yang ritmis tanpa fase kekakuan.
Karena jenis kejang sangat beragam, banyak kasus epilepsi yang tidak langsung terdiagnosis. Sebagian orang bahkan tidak menyadari bahwa mereka mengalami kejang, terutama jika bentuknya hanya tatapan kosong atau sensasi aneh sesaat.
Penanganan dan Pengobatan Epilepsi
Meskipun epilepsi tidak bisa sembuh total. Namun dengan pengobatan yang tepat, dapat membantu mengurangi kejadian kejang. Tujuan utama pengobatan adalah mencegah kejang agar penderita bisa menjalani hidup normal. Beberapa pendekatan yang umum antara lain:
- Obat antiepilepsi (OAE): sebagai pengobatan utama. Obat-obatan seperti valproat, karbamazepin, lamotrigin, dan levetirasetam untuk membantu menstabilkan aktivitas listrik otak. Sekitar 70% penderita epilepsi dapat bebas kejang jika patuh mengonsumsi obat.
- Operasi otak: Jika sumber kejang jelas dan terletak pada satu area otak yang dapat diangkat tanpa mengganggu fungsi penting, bedah epilepsi bisa menjadi solusi. Bedah epilepsi ini untuk epilepsi yang tidak responsif terhadap obat.
- Stimulasi saraf vagus (VNS): Alat kecil ditanam di dada untuk mengirimkan sinyal ke otak lewat saraf vagus. Ini bisa membantu mengurangi frekuensi dan intensitas kejang pada kasus yang sulit diobati.
- Diet ketogenik: Diet tinggi lemak dan sangat rendah karbohidrat ini efektif untuk sebagian penderita epilepsi, terutama anak-anak dengan jenis epilepsi tertentu. Diet ini perlu pemantauan ketat oleh ahli gizi dan dokter.
Pengobatan epilepsi bersifat individual, tergantung pada jenis kejang, usia pasien, kondisi kesehatan secara umum, dan respons terhadap obat.
Apakah Epilepsi Bisa Menular?
Sebagian kecil epilepsi memang bisa dikaitkan dengan faktor genetik. Artinya, seseorang bisa memiliki kecenderungan lebih besar untuk mengalami epilepsi jika ada anggota keluarga dekat yang juga memilikinya. Tapi ini berbeda dari konsep “menular.” Epilepsi yang bersifat genetik bukan berarti otomatis diturunkan, apalagi menular hanya karena berada di dekat seseorang yang memilikinya.
Bagaimana agar epilepsi tidak kambuh, pastikan minum obat-obatan antiepilepsi secara rutin sesuai arahan dokter dan cukup istirahat.